JAKARTA, Dilansir dari Kompas.com, Jelang Pemilu 2024, perbincangan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold kembali menghangat.
Aturan yang tertuang dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 digugat sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Alasannya, syarat pasangan calon presiden dan wakil presiden harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR membatasi tiap warga negara untuk maju.
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menjadi salah satu pihak yang menggugat aturan tersebut. Dalam permohonannya ke MK, Gatot meminta hakim MK membatalkan ketentuan Pasal 222 UU Nomor 7/2017.
Menurut Gatot, yang diwakili kuasa hukum Refly Harun, Pasal 222 UU Nomor 7/2017 itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 Ayat (2), 6A Ayat (5), dan 6A Ayat (2) UUD 1945.
"Karena telah mengakibatkan pemohon kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa (presiden dan wakil presiden) yang dihasilkan partai politik peserta pemilihan umum," kata Refly.
Selain itu, menurut Refly, kondisi faktual pada Pilpres 2019 di mana pemilih tidak mendapatkan calon-calon alternatif terbaik dan adanya polarisasi politik yang kuat, dapat menjadi alasan MK untuk memutuskan bahwa ambang batas presiden tidak relevan lagi.
Hal senada disampaikan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) LaNyalla Mahmud Mattalitti. Dalam pertemuannya dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, ia menyampaikan DPD sedang menggugat ketentuan ambang batas presiden agar menjadi 0 persen ke MK.
Adapun gugatan terhadap ketentuan Pasal 222 UU Nomor 7/2017 itu dilayangkan dua anggota DPD, Fachrul Razi dan Bustami Zainudin.
"Presidential threshold setinggi itu akan membuka lahirnya calon presiden boneka. Kemudian pasti akan ada kompromi-kompromi politik," kata LaNyalla dalam keterangannya, Selasa (14/12/2021).
Selain itu, LaNyalla menilai ambang batas presiden 20 persen berpotensi menyebabkan konflik yang tajam di masyarakat. Kemudian, membuat makin sedikit calon pemimpin yang bisa diusung. Padahal, kata LaNyalla, banyak sekali anak-anak bangsa yang bisa maju sebagai pemimpin.
"Tapi karena ada ambang batas itu jadi tidak bisa. Jadi tertutup sudah," katanya.
Firli Bahuri sepakat soal ambang batas pencalonan presiden yang dinilai terlalu tinggi. Namun, kata dia, KPK memandang dari sisi potensi tindak pidana korupsi.
Menurutnya, ambang batas presiden 20 persen berpotensi melahirkan politik transaksional yang menyebabkan korupsi.
"Kalau saya memandangnya begini, di alam demokrasi saat ini dengan presidential threshold 20 persen itu biaya politik menjadi tinggi. Sangat mahal," kata dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Menyoal Presidential Threshold 20 Persen, Digugat karena Dinilai Batasi Demokrasi", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2021/12/15/08493111/menyoal-presidential-threshold-20-persen-digugat-karena-dinilai-batasi?page=all.
Letnan Marzuki RT.001 / RW. 001 Talang Jawa Selatan Lahat, Kab Lahat Sumatra Selatan
081278607400
BukitBesakNews@gmail.com
Copyright © 2020 Bukit Besak News All rights reserved. | Redaksi | Pedoman Media Cyber | Disclimer